Suasana Hiburan Malam |
Lihatberita.com - Setiap tahun, menjelang dan sepanjang bulan Ramadan, usaha hiburan malam menjadi sorotan. Selalu diwarnai sweeping oleh ormas militan. Ada kekecewaan sekian banyak tenaga kerja di sektor hiburan, terlebih menjelang lebaran. Kecewa karena uang tips yang jadi andalan bakal merosot, sedang untuk sekadar membeli sejumput cabe saat ini perlu puluhan ribu.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, sudah mewanti-wanti agar penguasaha hiburan malam tidak membandel. Bila nekad 'menodai bulan suci umat Islam', maka akan dicabut izinnya. Ancaman-ancaman serupa bakal bergiliran datang dari pemda-pemda, sepanjang hari-hari mendatang, hingga akhir Ramadan.
"Mestinya tak perlu dengan kebijakan-kebijakan represif. Yang penting adalah membangun penyadaran, karena mendisiplinkan masalah keagamaan yang dibutuhkan adalah proses penyadaran, bukan dengan regulasi yang mengancam," begitu sosiolog dari UGM, Yogyakarta, Arie Sudjito.
Namun Arie membenarkan langkah Pemprov DKI yang mengeluarkan kebijakan itu, hanya saja pendekatannya yang mesti diganti, lantaran memang persoalan rutin ini menjadi kewenangan daerah. Tak perlu pusat yang mengurusinya, karena daerah yang tahu persis kondisi masing-masing. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Arie Budiman menyebut, ada sekitar 1. 300 tempat hiburan yang berada di lima wilayah DKI Jakarta.
Daerah pula yang berhak mengurusinya, karena perlu penonjolan pendekatan kultural dalam mengatasi persoalan ini. Bagaimana dengan sikap reaktif represif dari ormas yang mengerahkan milisinya, yang biasa bergerak di bulan sakral umat muslim ini? Di sinilah peran pusat, sebagai representasi negara, diberi ruang untuk terlibat. Negara, perlu memberikan policy yang tegas, bagaimana aparatnya harus bertindak, agar perannya tak diambil oper milisi sipil yang suka mengobrak-abrik tempat hiburan malam.
Hiburan malam, kerap kali, identik dengan dugem (dunia gemerlap), hura-hura, karaoke, diskotik, live music, panti pijat, dan segala bumbunya, termasuk esek-esek. Tapi membangun semangat pluralisme, yang intinya adalah toleransi, tetap tak bisa diselesaikan dengan kekerasan. Sekali lagi, yang dibutuhkan adalah pendekatan penyadaran, dialog. "Toh bangsa ini sudah dewasa," imbuh mantan aktivis 1998 itu.
Untuk proses penyadaran, lanjut Arie, sejumlah ormas keislaman perlu turun tangan. Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), atau pun Majelis Ulama Indonesia (MUI), perlu terus membangun dialog dengan banyak elemen masyarakat, termasuk kalangan pengusaha sektor dugem. Jangan hanya bersuara tatkala ada pemberitaan tindakan anarkis milisi. "Karena hanya dengan pendekatan kultur, suasana tetap bisa sejuk. Pendekatan policy dan politik, sulit untuk bisa meredam hingar-bingar dunia malam," katanya.
Industri apa pun, termasuk tempat hiburan malam, sudah tentu menyerap tenaga kerja. Di sana, ada kepala keluarga yang ingin dapurnya tetap mengepul. Pemerintah, sudah tentu, juga tak ingin angka pengangguran bertambah. "Selama penutupan pada Ramadan pasti ada penurunan pendapatan yang signifikan hingga 40 persen," kata Ketua Perhimpunan Pengusaha Rekreasi dan Hiburan Umum Adrian Mailite.
Cukup berat memang. Di saat pendapatan anjlok, mereka harus tetap mengeluarkan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada karyawannya, sama dengan perusahaan swasta lainnya. Adilkah? (sam/fuz/jpnn)