Kalangan pengusaha sektor jasa konstruksi pesimistis kebutuhan dana investasi untuk pembangunan infrastruktur sebesar Rp 1.500 triliun bisa terpenuhi dalam empat tahun ke depan.
Apalagi iklim investasi di bidang infrastruktur belum kondusif, khususnya terkait masalah pembebasan lahan.
"Banyak proyek infrastruktur, khususnya yang ditawarkan melalui pola kerja sama antara pemerintah dan swasta, tidak menarik bagi investor. Memang karena belum layak," kata Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Soeharsojo di Jakarta, Kamis (23/4), saat jadi pembicara dalam seminar infrastruktur.
Menurut dia, hingga saat ini banyak proyek infrastruktur yang studi kelayakannya tidak lengkap, khususnya terkait kejelasan waktu dan biaya pembebasan lahan. Dalam hal ini, perhitungannya selalu tidak sesuai dengan target karena tidak ada jaminan harga tanah.
Seperti diketahui, dalam rapat kerja nasional (rakernas) di Bali, pemerintah menargetkan dana investasi untuk pembangunan infrastruktur sebesar Rp 1.500 triliun hingga 2014.
Soeharsojo menilai, kendala utama investasi di sektor infrastruktur terkait pengadaan lahan, baik dalam pembangunan jalan tol maupun pelabuhan. Karena itu, selama peraturan pengadaan lahan belum rampung, maka sulit untuk menarik dana pihak swasta untuk investasi ke infrastruktur. "Perbankan sebenarnya sudah mau membiayai sektor ini. Bahkan kalau aturannya sudah diperbaiki dan bisa lebih kondusif, mungkin pemerintah bisa memanfaatkan dana asing," ujarnya.
Di sisi lain, Soeharsojo juga mengatakan, badan usaha milik negara (BUMN) diharapkan tidak mengerjakan proyek jasa konstruksi skala kecil atau senilai di bawah Rp 3 miliar. Dalam hal ini, idealnya BUMN mengerjakan proyek senilai Rp 10 miliar ke atas. Selain itu, BUMN juga diminta melibatkan kontraktor skala kecil dalam mengerjakan megaproyek jasa konstruksi. "Dengan ini, proyek infrastruktur juga bisa melibatkan lebih banyak peran serta masyarakat," tuturnya.
Soeharsojo juga mengatakan, terkait pelaksanaan sejumlah kesepakatan perdagangan bebas secara bilateral dan regional, pemerintah harus segera menerapkan standar nasional Indonesia (SNI) untuk bahan bangunan. Selain itu, pemerintah juga harus mendorong proyek-proyek jasa konstruksi menggunakan produk dalam negeri. "Untuk menghindari serbuan bahan bangunan dari China, pemerintah harus menetapkan SNI. Apalagi bahan bangunan asal China banyak tiruan dan kualitasnya tidak terjamin," ujarnya. (Novi)