JAKARTA seperti ABG yang sedang hobi bersolek diri. Jalan-jalan baru dan jembatan dibangun, begitu juga mal-mal dan gedung bertingkat dibuat di mana-mana. Sejumlah bangunan tua dan pusat-pusat interaksi sosial juga mengalami peremajaan. Gaya hidup masyarakat Jakarta semakin modern.
Salah satu sisi lama kota Jakarta yang kini semakin tergerus adalah bangunan-bangunan bioskop non jaringan 21 atau twenty one. Bioskop-bioskop yang kadang bau pesing dan dihuni banyak kecoak itu satu persatu dirubuhkan atau dialihfungsikan.
Nama seperti Rivoli, Bioskop Djaja di Jatinegara, bioskop Orion di Glodok, kini tinggal kenangan. Cempaka Theatre, bioskop yang pada tahun 90-an bertarif Rp1.500 tidak ada lagi, seiring dengan pembongkaran Pasar Cempaka Putih akhir 2009. Dan yang terakhir ‘ambruk’, adalah bioskop Benhil, di Jakarta Pusat.
Bioskop Benhil yang terletak di bagian belakang lantai 2 Pasar Benhil Jakarta Pusat itu tutup 1 April 2010. Seperti bioskop tua lain, kondisinya juga tidak terawat, atapnya yang terbuat dari triplek banyak yang terlihat rapuh dan jebol.
Meski sudah tutup, poster-poser film seperti Pocong Setan Jompo, Kuntilanak, Shoot Em Up dan beberapa film nasional masih bertengger di luar bioskop.
Menurut salah satu pengurus manajemen Pasar Benhil, Winda, kapasitas tempat duduk di gedung ini sekitar delapan ratusan. Saat masih dibuka, penonton hanya dipungut Rp3 ribu rupiah untuk satu karcis. Sayangnya, karena sudah sepi pengunjung, ditambah ongkos operasional yang mahal, maka pemiliknya pun memutuskan untuk menutup bioskop tersebut.
Begitu juga yang terjadi pada Bioskop Nusantara di bilangan Kebon Pala Kampung Melayu Jakarta Timur. Menurut Marjono, penjaga bioskop, Nusantara ditutup bulan Februari 2006. Konon, pengelola bioskop tidak lagi mau memperpanjang sewa gedung karena memang bioskop yang didirikan sekitar tahun 1970 an ini sudah tidak lagi menguntungkan.
Gedung eks bioskop yang memiliki empat teater seluas 20x10 ini pun dibiarkan kosong. Lahan parkirnya yang cukup luas kerap dijadikan tempat bermain futsal oleh warga, lahan parkir dan tempat menyimpan gerobak pedagang kaki lima. Saat musim banjir tiba, lahan parkir beralih fungsi menjadi tempat pengungsian.
Nasib bioskop Rivoli lebih parah. Bioskop ini sudah rata dengan tanah. Padahal 30 tahun lampau, siapa warga Jakarta yang tak tahu Rivoli. Saat masa jayanya bioskop yang memutar film-film Bollywood India, ini selalu penuh antrean penonton.
“Dulu ramai, orang pada nonton film India. Orang daerah yang datang ke Jakarta tahunya Rivoli. Waktu saya kecil, yang nonton antre,” kata Muhamad Muslim alias Cicip (40) warga Kramat Pulo, yang berdagang nasi Padang di lahan bekas Rivoli.
Kejayaan Rivoli tinggal kenangan, sejumlah sumber menyebut bioskop yang muncul di tahun 1960-an ini tutup tahun 2002. Cicip mengaku pernah mendengar bahwa lahan gedung Rivoli dijual Rp14 miliar.Entah benar atau tidak, yang pasti sekarang yang ada hanya lahan kosong yang dijadikan tempat usaha sementara sejumlah pedagang makanan. Ketenaran Rivoli pun lama-kelamaan akan terlupakan sama seperti puluhan bioskop lainnya yang bernasib serupa. Lengkingan genit Karishma Kapoor sudah tidak lagi terdengar.
(fit)
Sumber http://news.okezone.com/read/2010/04/26/338/326579/memotret-reruntuhan-bioskop-tua-di-jakarta